Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2025

KECEWA

  Kecewa datang tanpa mengetuk pintu, masuk dan duduk di ruang tamu. Ia tak bicara apa-apa, hanya menatap dengan mata kosong.   Ia tidak marah, hanya enggan menjelaskan apa yang patah. Seperti gelas yang jatuh pelan-pelan, tapi cukup untuk tak bisa digunakan.   Kadang kecewa cuma ingin didengar, bukan disuruh pergi. Tapi siapa yang mau tinggal bersama perasaan yang tak selesai?   Ia pun akhirnya pergi sendiri, meninggalkan jejak di bantal dan tatapan kosong di cermin yang tak tahu harus menatap siapa.

BISU

Bisu bukan berarti tak punya suara, tapi tak tahu harus berbicara kepada siapa. Ia duduk di bangku taman sambil menatap angin yang tak menjawab.   Di dadanya banyak kalimat yang tak sempat ia lahirkan. Mereka tumbuh jadi batu kecil yang berat di setiap tarikan napas.   Orang-orang mengira ia pendiam, padahal ia hanya takut kalau kata-katanya tak sampai ke telinga yang tepat.   Maka ia pilih diam selamanya, karena di dalam diam ada puisi yang lebih jujur daripada percakapan.

Kaca Mata

  Kaca mata itu retak sebelah, tapi ia enggan menggantinya. Katanya, “Biar dunia terlihat setengah rusak— agar aku tak terlalu berharap.”   Lewat lensa itu ia melihat kenangan yang kabur tapi hangat. Orang-orang lewat seperti bayangan, tak jelas, tapi cukup untuk dikenang.   Ia bersihkan kaca dengan ujung baju, tak ingin terlalu terang, karena kadang terang malah bikin silau dan salah jalan.   Kaca mata itu bukan alat bantu lihat, tapi jendela kecil ke masa lalu yang belum sepenuhnya ia relakan.

CERMIN DI KAMAR

Cermin ini tak pernah berdusta, ia memantulkan wajah lelah dan mata yang kosong, tanpa riasan, tanpa rencana. Setiap pagi aku menatapnya, berharap menemukan seseorang yang bisa kupercaya hari ini. Tapi yang kulihat hanya aku, dengan tubuh yang berusaha tumbuh dan hati yang ingin sembuh.

Bukan adik kecil lagi

Kue tar datang lengkap dengan lilin dan harapan. Sambil tersenyum, aku meniupnya pelan-pelan, takut jika bersama nyalanya, doa-doaku ikut padam perlahan. Tapi yang padam bukan hanya nyala. Ada yang ikut redup dalam dada: sebuah kesadaran kecil bahwa masa kecil sudah lama pamit tanpa sempat terucap permisi. Orang-orang tertawa dan bertepuk tangan, aku ikut tertawa, meski dalam hati bertanya: "Sejak kapan aku jadi terlalu tua untuk berharap hadiah berupa mainan?" Dulu aku ingin cepat dewasa agar bisa tidur larut, makan sesukanya, dan memutuskan segalanya sendiri. Sekarang aku ingin jadi anak-anak lagi: cukup menangis bila sedih, dan selalu ada yang memeluk meski tak diminta.

Teruntukku

  Selamat, wahai aku yang tetap bertahan meski sering ingin menyerah, yang pura-pura kuat meski sebenarnya hanya ingin dipeluk diam-diam oleh waktu. Terima kasih sudah tumbuh, meski tak selalu utuh. Sudah berjalan jauh, meski kadang tanpa arah yang pasti. Sudah belajar tersenyum, meski dunia tak selalu lucu. Tak perlu pesta, tak perlu kue, cukup secangkir doa dan secuil jeda— untuk mengingat: bahwa menjadi diriku sendiri adalah hadiah paling sunyi, dan paling berarti.

Untuk Aku yang Masih Ada

Gambar
  Selamat untukmu, yang telah bertahan sejauh ini, melewati hari-hari yang tak selalu ramah, dan malam-malam yang sering tak ingin tidur bersamamu. Terima kasih, karena tak pergi meski pernah ingin menghilang. Karena masih bangun setiap pagi, meski semalam sempat berpikir: “Untuk apa lagi?” Tak semua orang tahu betapa beratnya menjadi aku, dan aku pun tak pernah benar-benar bisa menjelaskannya. Tapi hari ini, aku berani berkata: "Aku bangga padamu, wahai aku." Karena kau masih di sini, masih bernapas, masih mencoba pelan-pelan mencintai hidup yang tak selalu mencintaimu kembali.