Surat Terakhir Matahari

 Setiap pagi,

Dia menulis surat,
bukan dengan tinta,
melainkan dengan nyala
yang melelehkan huruf
sebelum sempat sampai
ke Bulan.

Tapi Bulan selalu tahu.
Dia hanya berkata,
"Kita bahas nanti,"
dan bersembunyi
di balik bayang-bayang
yang tidak pernah ia usir.

Matahari menunggu.
Dia menitipkan cincinnya ke Saturnus,
mengirim salam lewat bintang jatuh,
dan akhirnya berhenti berotasi
hanya agar semesta tahu
ia serius dalam menunggu.

Langit pun kacau.
Orbit berpindah.
Waktu tersedak diam.

Sampai Bulan
menusukkan senyapnya
tepat di dada terang itu,
di atas langit senja
yang perlahan memerah
bukan karena cinta—
tapi karena darah.

Namun Matahari tak mati.
Ia abadi
seperti rindu yang keras kepala.

Matahari bangun dari kubur cahaya,
mengumpulkan serpih dirinya
yang berserakan di dunia
luka yang tak bisa disebut luka,
karena ia tetap bersinar.

Dan tiap kali melihat Bulan
di ujung cakrawala,
ia tersenyum dan berkata:

"Kau terlalu indah untuk kusalahkan,
maka tikamlah aku lagi,
hancurkan aku lagi.
Aku akan bangkit
untuk mati sekali lagi di tanganmu—
demi bisa melihatmu,
sedikit lebih dekat
daripada saat gerhana."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUJAN DESEMBER

KALENG MERAH

Percakapan yang Tertunda