khidmah
KHIDMAH SANTRI, sebuah ajang untung beberapa orang santri berkhidmah kepada masyarakat, juga lahan untuk kita mempelajari bagaimana kehidupan setelah kita boyong kelak.
Berjumlah 12 orang, kami menempat di sumber jambe, bangorejo, Dirumahnya pak lurah.
Mungkin pandangan sebagian orang, kami disini enak- enak, seneng- seneng, hapy, gak mumet mikir seng enek nek pondok. Persetan sama semua itu. Memang jiwa kita, fikiran kita disini, tapi separuh hati kami masih tertinggal di ruangan aula lantai 3 itu, yang setiap pagi, siang, malam selalu kami datangi selama 3 tahun terakhir ini, bersama mereka 28 orang yang juga melakukan hal yang sama.
Kami disini juga punya tanggungan lain, menjadi brosur dari sebuah lembaga baru, menyangga nama sebuah yayasan yang tengah menjulang tinggi, menjaga martabat daerah, dan tentunya harga diri diri ini.
Kami sering tidur gak nyenyak gara- gara bingung besok masih mau nyampein materi apa?!,mau membuat kondisi kelas yang bagaimana biar gak bosen?, mau masak apa?, mau berinteraksi dengan bagaimana?, siapa orang yang akan kita hadapi lagi?, nyaman nggak mereka kedatangan kita?, Risih nggak mereka bareng kita?, Apakah kita mengganggu privasi? bahkan apa hal yang harus kita tinggalkan disini.sampai- sampai bangun tidur overthinking, bukannya fresh malah tambah budrek. Banyak, banyak sekali yang mengisi otak ini....
seperti aku sendiri, aku dapat job untuk mendampingi siswa yang non muslim, disini emang suasananya dibuat sesantai mungkin, tapi disini, setiap malam justru bingung, ketika satu materi udah selesai, kita bingung besok mau menyajikan materi apa?!!, Bahannya ada nggak? Gimana enaknya besok interaksinya sama mereka?!, Kalimat apa yang harus ditata, topik apa yang harus tersaji, bahkan ketika keceplosan istighfar atau nyebut "ya Allah..." Aja rasanya sungkan. Itu aja yang dari sisi pandang aku, belum dari merekanya. Hidup menjadi bagian minoritas di kalangan mayoritas itu mungkin juga ada sebuah tekanan, siapa juga yang mau dikucilkan dari temen sendiri?. Padahal tentang agama adalah hak asasi, ga ada yang boleh maksa- maksa. Fikiran Aku sendiri juga langsung tertuju kesitu pas lagi ngeliat mereka sedikit di bedakan,
" Mbak, rebana itu apa? "
" Dia lo kristen mbak, mosok apene belajar rebana? "
Betapa dahsyatnya kalimat itu ketika mendarat ditelingaku. Apalagi mereka??. Itu setiap hari yang aku pikirkan, gimana caranya buat mereka selalu baik- baik aja ketika menjadi kalangan minoritas.membangkitkan semangat mereka.
Adat juga menjadi kendala kami. Kami disini pendatang. walaupun ndak tetap tapi tetep aja, kami harus mengikuti apa yang sudah tersedia disini. Kita nggak bisa oportunitas terhadap hal- hal yang sudah ditetapkan. Kita harus mampu berkamuflase terhadap lingkungan sekitar. Apalagi dengan waktu 10 hari, pas udah mulai bisa beradaptasi, pas waktunya pulang. Kita nggak bisa semena- mena menerapkan kebiasaan kita yang mungkin berbeda dengan kebiasaan disini. Seperti waktu kita menghadiri acara dibaiyah disalah satu rumah penduduk, 2 kali kami mendatangi acara yang sama, ditempat yang berbeda, bahkan masih satu daerah, sudah beda adatnya. Rencana yang udah kita konsep sedemikian rupa udah semrawut gak karuan, kayak mulai nol lagi.kita nggak bisa maksain buat mereka mengikuti kita. Ya itulah kehidupan, terdapat namanya perbedaan.
Itu dari eksternalnya, belum dari internalnya. Didalam masing- masing diri kita terdapat ego, dan pengendalian dari masing- masing itu juga berbeda. Satu orang dengan orang yang lain nggak sama. Ada yang sukanya memimpin tapi lalai dengan apa yang harus diprioritaskannya, ada yang lebih memilih bermain dibehind the scene, atau dimana aja tapi emang benar- benar tanggung jawab. Semua itu cuma tentang ego, " siapa yang egois? " Nggak ada yang bisa njawab.itu semua sifat alamiah, tapi seharusnya sadar donk. Kita hidup serba terbatas, semuanya serba bersama- sama, seharusnya sikap toleransinya ditingkatkan. Perbedaan itu memang akan selalu ada dipihak manapun. Dan dampaknya tergantung bagaimana pikiran tindakan kita menyikapinya.
Belum lagi yang ada dipondok, terdapat luka yang tertinggal. Aku juga berpikir atas itu semua. Kebersamaan kita selama ini sudah membentuk semuanya, dan akan hancur jika terus- terusan digerogoti dengan hal- hal kecil seperti ini. Aku sendiri nggak tau, gimana nanti menghadapi mereka ketika kami datang. Tak siap jika harus melihat siratan luka dari sorot mereka. Tak siap dengan perubahan sikap yang akan terjadi. Tak siap dengan semua hal- hal yang dapat melukai masing- masing kita. Sebenarnya kalau disuruh memilih, kita juga nggak mau seperti ini. Mending tinggal dikelas tapi tetap bersama- sama. Tapi keadaan yang membuatnya. Dan kalau ditanya "siapa yang egois? " . kan nggak mungkin mereka. Tapi ini juga bukan kehendak kami. Belum ketertinggalan Havalan & materi, 10 hari bukan lah waktu yang singkat. Dan mirisnya otakku mode low reaction, apalagi mulainya akhir- akhir, alangkah beratnya langkahku kedepan ini...
Tapi ya udahlah... Semua ini ada hikmahnya masing- masing... Aku disini juga diajarin buat selalu berusaha menghargai perbedaan, berusaha ramah kepada siapa saja, dalam keadaan apapun. Dan lain- lain...
Dan tentunya, seperti yang selalu diingatkan bapak, ga boleh seudzon, husnudzon itu lebih baik, ya... Seperti itu lah.
uwuu
BalasHapus