Surat Terakhir Matahari
Setiap pagi, Dia menulis surat, bukan dengan tinta, melainkan dengan nyala yang melelehkan huruf sebelum sempat sampai ke Bulan. Tapi Bulan selalu tahu. Dia hanya berkata, "Kita bahas nanti," dan bersembunyi di balik bayang-bayang yang tidak pernah ia usir. Matahari menunggu. Dia menitipkan cincinnya ke Saturnus, mengirim salam lewat bintang jatuh, dan akhirnya berhenti berotasi hanya agar semesta tahu ia serius dalam menunggu. Langit pun kacau. Orbit berpindah. Waktu tersedak diam. Sampai Bulan menusukkan senyapnya tepat di dada terang itu, di atas langit senja yang perlahan memerah bukan karena cinta— tapi karena darah. Namun Matahari tak mati. Ia abadi seperti rindu yang keras kepala. Matahari bangun dari kubur cahaya, mengumpulkan serpih dirinya yang berserakan di dunia luka yang tak bisa disebut luka, karena ia tetap bersinar. Dan tiap kali melihat Bulan di ujung cakrawala, ia tersenyum dan berkata: "Kau terlalu indah untuk kusala...