Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2025

Surat Terakhir Matahari

 Setiap pagi, Dia menulis surat, bukan dengan tinta, melainkan dengan nyala yang melelehkan huruf sebelum sempat sampai ke Bulan. Tapi Bulan selalu tahu. Dia hanya berkata, "Kita bahas nanti," dan bersembunyi di balik bayang-bayang yang tidak pernah ia usir. Matahari menunggu. Dia menitipkan cincinnya ke Saturnus, mengirim salam lewat bintang jatuh, dan akhirnya berhenti berotasi hanya agar semesta tahu ia serius dalam menunggu. Langit pun kacau. Orbit berpindah. Waktu tersedak diam. Sampai Bulan menusukkan senyapnya tepat di dada terang itu, di atas langit senja yang perlahan memerah bukan karena cinta— tapi karena darah. Namun Matahari tak mati. Ia abadi seperti rindu yang keras kepala. Matahari bangun dari kubur cahaya, mengumpulkan serpih dirinya yang berserakan di dunia luka yang tak bisa disebut luka, karena ia tetap bersinar. Dan tiap kali melihat Bulan di ujung cakrawala, ia tersenyum dan berkata: "Kau terlalu indah untuk kusala...

KAMAR MANDI

Di kamar mandi aku bukan siapa-siapa: bukan murid yang dituntut, bukan anak yang ditakut-takuti, bukan kekasih yang harus bisa segalanya bukan juga teman yang harus selalu ada.   Hanya seonggok tubuh dan suara air yang tidak menuntut apa-apa dariku, kecuali kesediaan untuk hening Mendengarkan suara berisiknya Aku pernah curhat pada sabun, minta peluk pada handuk, dan berdamai dengan bayangan yang mengembun di cermin. Di kamar mandi, aku sering sembuh tanpa obat. Dan kadang retak tanpa ada yang sadar.  

UTUH

aku ingin menjadi utuh, bukan sempurna. karena sebuah sendal pun selalu dijual berpasangan, bukan karena mereka identik, tapi karena mereka saling menerima arah yang berlawanan. aku ingin menjadi utuh: dengan pagi yang kadang kesiangan, wajah yang terlalu kusam, tangg jawab yang terkadang ku tinggal pelan dan doa yang nyasar ke nomor masa yang telah lama kutingalkan. aku sudah lelah mengejar versi terbaik diriku yang selalu berubah alamat, tak pernah bersykur medapat nikmat dan surat-surat yang kutulis dengan pensil murahan hanya kembali padaku dengan perangko yang makin kusam dan penuh tanda tanya. utuh itu tahu bahwa masa lalu punya hak tinggal, bahwa tawa kadang tak selalu punya alasan, dan bahwa mencintai diri sendiri tak harus lulus ujian jadi orang lain. jadi biarkan aku duduk di bangku taman dengan jilbab kusut dan puisi setengah jadi. aku tak mau jadi patung pahlawan, cukup jadi manusia yang bisa jatuh, dan tetap datang ke hidup, esok pagi— dengan langkah y...